Dadiah, Fermentasi Tradisional Minangkabau dari Nagari Aie Dingin yang Sarat Manfaat dan Nilai Budaya
Kabar Gumanti TV
Nagari Aie Dingin, gumantitv.online — Dadiah, salah satu kuliner khas Minangkabau yang telah bertahan secara turun-temurun, masih diproduksi secara tradisional oleh masyarakat di Nagari Aie Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Makanan berbahan dasar susu kerbau ini bukan hanya sekadar pangan lokal, tetapi juga menyimpan nilai budaya dan pengobatan alami bagi masyarakat setempat.
Dadiah diolah melalui proses fermentasi alami menggunakan susu kerbau segar yang dituangkan ke dalam ruas bambu dan dibiarkan semalaman hingga mengental. Meskipun telah dikenal luas oleh masyarakat Minang, penelitian selama ini lebih banyak menyoroti aspek kesehatan dan peternakan dadiah. Penelitian mengenai aspek sosial budaya pengolahan dan konsumsi dadiah di daerah penghasil seperti Nagari Aie Dingin masih sangat terbatas.
Untuk itu, sebuah penelitian kualitatif dilakukan guna menggali lebih dalam pengetahuan lokal masyarakat mengenai pengolahan, konsumsi, dan manfaat dadiah di Nagari Aie Dingin. Penelitian ini menggunakan metode observasi lapangan, wawancara mendalam, serta dokumentasi visual.
Informan dalam penelitian terdiri dari peternak kerbau lokal, penjual dadiah di warung, masyarakat konsumen dadiah, serta tokoh adat dan masyarakat tua yang memahami sejarah serta nilai kultural makanan ini.
Dari hasil wawancara diketahui bahwa masyarakat Aie Dingin tidak mengonsumsi dadiah setiap hari sebagai lauk pauk biasa. Sebaliknya, dadiah dianggap sebagai makanan fungsional yang dikonsumsi dalam kondisi tertentu, seperti saat sakit, kehamilan, menyusui, atau saat tubuh merasa letih. Ini menunjukkan adanya klasifikasi sosial dan kesehatan terhadap konsumsi dadiah di masyarakat.
"Kalau badan demam atau masuk angin, cukup makan dadiah dengan nasi hangat atau dicampur sedikit gula, InsyaAllah segar," ungkap salah seorang warga, Ibu Yusnidar, penjual dadiah di Jorong Lurah Nan Tigo.
Peternakan kerbau di Nagari Aie Dingin sendiri saat ini mengalami penurunan. Hanya terdapat dua usaha peternakan aktif, dengan salah satunya tidak rutin memproduksi dadiah karena keterbatasan jumlah kerbau dan tidak adanya kandang permanen.
Pengolahan dadiah masih sepenuhnya dilakukan secara tradisional. Prosesnya tetap mempertahankan penggunaan ruas bambu, tanpa sentuhan teknologi modern. Hal ini menunjukkan bahwa produksi dadiah di Nagari Aie Dingin tidak hanya mempertahankan cita rasa otentik, namun juga nilai kearifan lokal yang dijunjung tinggi.
"Kalau pakai botol atau plastik, rasanya tidak sama. Fermentasi dalam bambu itu sudah jadi warisan kami," ujar Pak Mardial, peternak kerbau yang juga memproduksi dadiah secara turun-temurun.
Menariknya, di tengah era serba digital dan perkembangan teknologi, produk dadiah khas Nagari Aie Dingin kini juga bisa dipesan secara online. Beberapa pelaku usaha kuliner lokal mulai memasarkan dadiah melalui platform media sosial dan layanan pesan-antar. Hal ini membuka peluang baru dalam memperluas pasar sekaligus mempertahankan warisan kuliner tradisional Minangkabau di tengah modernisasi.
Dengan hasil penelitian ini, diharapkan pengolahan dadiah sebagai warisan budaya masyarakat Minangkabau, khususnya di Nagari Aie Dingin, dapat lebih diperhatikan tidak hanya dari sisi kesehatan dan ekonomi, tetapi juga dari aspek sosial budaya yang kaya nilai.
Kata Kunci: Dadiah, Fermentasi Tradisional, Nagari Aie Dingin, Budaya Minangkabau, Kearifan Lokal, Peternakan Kerbau, Pemasaran Online
Komentar
Posting Komentar